Selasa, 15 Juli 2014





        Sepuluh atau 20 tahun ke belakang, tak banyak pelaku usaha yang bergelut di bidang jasa mencuci (laundry), terutama laundry kiloan. Jasa laundry hanya mudah ditemukan di hotel-hotel berbintang ataupun tempat laundry ekslusif dengan pelayanan ekslusif pula. Pakaian yang dicuci pun, pakaian yang memerlukan perlakuan khusus. Harga satuannya cukup mahal.
Nah, semakin sibuknya masyarakat di tanah air, tak jarang orang-orang tak punya waktu untuk sekedar mencuci pakaiannya sehari-hari. Kebutuhan akan jasa itu dimanfaatkan oleh bibi-bibi sekedar mengisi waktu luang. Mereka dari rumah ke rumah mencucikan pakaian tetangganya atau di bawa ke rumah masing-masing. Pagi hari mengambil cucian dan sore hari dikembalikan kepada majikannya. Mencucipun tanpa mesin, cukup dibilas dengan tangan dan mengeringkan dijemur di bawah terik mentari. Soal honor tak ada ukuran atau bayaran seiklasnya. Terserah si majikan yang memberi. Cucian sedikit atau banyak, honornya segitu saja.
       Karena dianggap tidak memerlukan keahlian khusus, tak jarang tukang jasa cuci seperti itu selalu digambarkan sebagai pekerjaan rendahan atau orang pinggiran. Sering tergambar berita di TV, kesengsaraan seseorang selalu diembel-embeli dengan, ”hanya buruh cuci yang pendapatan hariannya tidak menentu”.
      Kini, kondisi seperti itu sangat berbeda 180 derajat. Hampir di setiap gang, sangat mudah ditemukan workshop atau agen yang menerima jasa cucian dengan tarif kiloan.Terutama di lokasi yang dekat dengen kampus dan kos-kosan. Uniknya para penyedia jasa laundry itu, dari sisi penampilan tak kalah bagusnya dengan toko pakaian atau warnet. Workshop, dengan warna cat mencolok juga pegawainya mengenakan seragam. Petugas delivery pun sudah jarang yang menggunakan sepeda kayuh. Paling kecil menggunakan sepeda motor bahkan mobil khusus antar jemput laundry.
     Demikian juga jika masuk ruang workshop laundry. Selain penampilan karyawannya yang bersih, ownernya keren-keren. Komputer atau laptop di ruang kerjanya, blackberry di tangannya dan tampilan mobil di depan workshopnya.
     Dari segi pendidikan jangan anggap remeh. Tak jarang mereka lulusan sarjana. Saya punya beberapa klien yang membuka laundry. Yang pertama, dia karyawan sebuah bank BUMN. Ia menemui saya setelah membaca tulisan saya tentang mulai bisnis laundry kiloan. Dia menanyakan berbagai keperluan untuk bisnis laundry dari A sampai Z. Dia lulusan S1 jurusan ekonomi dan sedang melanjutkan S2. Dari pekerjaannya sebagai karyawan bank ia sudah memiliki kendaraan sendiri. Kini dia sudah membuka usaha laudry kiloan depan rumah sakit sewasta di Ciamis.
     Klien kedua, seorang sarjana lulusan sebuah perguruan tinggi agama di Jakarta. Setelah lulus ia kembali ke kampung halaman. Klien tersebut teman saudara saya yang masih satu kampus beda angkatan. Kini, usaha laundrynya sudah berjalan. Dia baru punya satu karyawan.
Sungguh berbeda tukang cuci saat ini dengan tukang cuci bibi-bibi zaman dulu. Bila bibi-bibi hanya mengisi waktu luang untuk mencuci juga karena tidak punya pekerjaan lain, kini mencuci menjadi bisnis yang dikelola secara profesional. Bahkan sudah banyak waralaba laundry dengan modal awal yang tak kalah besarnya dengan usaha lain.
      Maka tak salah, jika anda memasuki workshop sebuah laundry, penjaganya cantik sedang ngutak-ngatik laptop, di tangannya blackbarry dan di depan workshopnya mobil mengkilap. Ah memang zaman sudah berubah. Saya usul, berita-berita di TV jangan lagi mengaitkan gambaran kesengsaraan rakyat miskin dengan “hanya buruh nyuci”. Ganti saja oleh pekerjaan lain…(anp)


Sumber : Kompasiana

0 komentar:

Posting Komentar