Sepuluh atau 20 tahun ke
belakang, tak banyak pelaku usaha yang bergelut di bidang jasa mencuci
(laundry), terutama laundry kiloan. Jasa laundry hanya mudah ditemukan di
hotel-hotel berbintang ataupun tempat laundry ekslusif dengan pelayanan ekslusif pula. Pakaian yang
dicuci pun, pakaian yang memerlukan perlakuan khusus. Harga satuannya cukup
mahal.
Nah, semakin sibuknya masyarakat di tanah air, tak jarang
orang-orang tak punya waktu untuk sekedar mencuci pakaiannya sehari-hari.
Kebutuhan akan jasa itu dimanfaatkan oleh bibi-bibi sekedar mengisi waktu
luang. Mereka dari rumah ke rumah mencucikan pakaian tetangganya atau di bawa
ke rumah masing-masing. Pagi hari mengambil cucian dan sore hari dikembalikan
kepada majikannya. Mencucipun tanpa mesin, cukup dibilas dengan
tangan dan mengeringkan dijemur di bawah terik mentari. Soal honor tak ada
ukuran atau bayaran seiklasnya. Terserah si majikan yang memberi. Cucian sedikit atau banyak,
honornya segitu saja.
Karena dianggap tidak memerlukan keahlian khusus, tak jarang
tukang jasa cuci seperti itu selalu digambarkan sebagai pekerjaan rendahan atau
orang pinggiran. Sering tergambar berita di TV, kesengsaraan seseorang selalu
diembel-embeli dengan, ”hanya buruh cuci yang pendapatan hariannya tidak
menentu”.
Kini, kondisi seperti itu sangat berbeda 180 derajat. Hampir di
setiap gang, sangat mudah ditemukan workshop atau agen yang menerima jasa
cucian dengan tarif kiloan.Terutama di lokasi yang dekat dengen kampus
dan kos-kosan. Uniknya para penyedia jasa laundry itu, dari sisi
penampilan tak kalah bagusnya dengan toko pakaian atau warnet. Workshop, dengan warna cat mencolok juga
pegawainya mengenakan seragam. Petugas delivery pun sudah jarang yang
menggunakan sepeda kayuh. Paling kecil menggunakan sepeda motor bahkan mobil
khusus antar jemput laundry.
Demikian juga jika masuk ruang workshop laundry. Selain penampilan
karyawannya yang bersih, ownernya keren-keren. Komputer atau laptop di ruang
kerjanya, blackberry di tangannya dan tampilan mobil di depan workshopnya.
Dari segi pendidikan jangan anggap remeh. Tak jarang mereka
lulusan sarjana. Saya punya beberapa klien yang membuka laundry. Yang pertama,
dia karyawan sebuah bank BUMN. Ia menemui saya setelah membaca tulisan saya tentang mulai bisnis laundry kiloan. Dia menanyakan berbagai
keperluan untuk bisnis laundry dari A sampai Z. Dia lulusan S1 jurusan ekonomi
dan sedang melanjutkan S2. Dari pekerjaannya sebagai karyawan bank ia sudah
memiliki kendaraan sendiri. Kini dia sudah membuka usaha laudry kiloan depan
rumah sakit sewasta di Ciamis.
Klien kedua, seorang sarjana lulusan sebuah perguruan tinggi agama
di Jakarta. Setelah lulus ia kembali ke kampung halaman. Klien tersebut teman
saudara saya yang masih satu kampus beda angkatan. Kini, usaha laundrynya sudah
berjalan. Dia baru punya satu karyawan.
Sungguh berbeda tukang cuci saat ini dengan tukang cuci bibi-bibi
zaman dulu. Bila bibi-bibi hanya mengisi waktu luang untuk mencuci juga karena
tidak punya pekerjaan lain, kini mencuci menjadi bisnis yang dikelola secara
profesional. Bahkan sudah banyak waralaba laundry dengan modal awal yang tak
kalah besarnya dengan usaha lain.
Maka tak salah, jika anda
memasuki workshop sebuah laundry, penjaganya cantik sedang ngutak-ngatik laptop,
di tangannya blackbarry dan di depan workshopnya mobil mengkilap. Ah
memang zaman sudah berubah. Saya usul, berita-berita di TV jangan lagi mengaitkan
gambaran kesengsaraan rakyat miskin dengan “hanya buruh nyuci”. Ganti saja oleh
pekerjaan lain…(anp)
Sumber : Kompasiana